Kira-kira sepuluh jam yang lalu nomor
tak di kenal menghubungiku. Ibuku mengangkatnya sewaktu aku masih dengan
polosnya memeluk guling. Hingga cipratan air membangunkanku. Menyuruhku sekolah
di sekolah alam Gunung Kapur. Ibu menunjukkan di handphoneku ada pangilan nomor
tak di kenal. Katanya itu Bu Kusina, bilang kalau aku di terima di sekolah alam
itu.
Mandi dan sarapan tujuanku.
Sepertinya lebih tepatnya hanya cuci muka dan makan beberapa biskuit sisa
semalam. Buru-buru aku lari ke sekolah alam Gunung Kapur.
Sampai di sekolah alam Gunung Kapur,
aku begitu menikmati sekolahnya. Sekolah dengan bangunan tua dan banyak coretan
tulisan yang tertumpuk tulisan lain. Perlahan kakiku melangkah, memandangi
lingkungan sekolah, ada suara yang membuatku penasaran sehingga aku menghampiri
gang kecil ramai kerumunan.
“Ada apa ?”.
Suaraku memecahkan keributan.
Terlihat ada dua orang tersungkur jatuh tidak berdaya. Orang kurus dengan tahi
lalat dipipi itu memegangi pipinya entah kenapa dan orang yang gempal di
sebelahnya hanya merundukkan kepalanya.
“kenapa mereka berdua tersungkur seperti
itu ?”
“Situ siapa berani-beraninya lantang sok
jagoan. Kita Ebot. Semua orang kenal kita, bahkan orang yang ada di sekolah
alam Gunung Kapur ini.”. Orang berambut cepak mendekatiku. Berkisar umur
23tahunan. Seumuranku. Mengepalkan tangan di depan wajahku.
Aku tepis tangan yang orang itu. Terjadilah
perkelahian hebat. Aku memukul dengan lincah walaupun pada akhirnya pelipis
mataku terpukul. Aku mengakhirinya dengan tendangan silang. Orang itu jatuh
tersungkur. Lantas di bawa oleh teman-temannya pergi menjahiku. Aku mendekati
ke dua orang yang terjatuh itu. Salah seorang darinya berbicara tidak jelas
“bababa.. baba..”.
“Apa yang kau katakan ? aku tidak
mengerti, bicaralah dengan jelas!”.
“Pucuk di cinta ulam pun tiba. Baba
hanya berterima kasih kepada kau. Aku ini Kenang. Dia Baba. Baba mempunyai
syndrome asperger. Hanya bisa bicara satu kata.
Baba pun tersenyum dengan muka
polosnya kepadaku. Sepertinya Baba senang memiliki teman baru. Aku tetap tidak
peduli.
“Lalu kenapa kamu bicaranya baku dan
puitis banget”. Tiba-tiba Baba tertawa kecil. Dan diam ketika aku melihat
kearahnya.
“Sastra itu menyenangkan. Aku suka
puisi. Aku suka pantun. Aku suka gambar. Aku bahkan bisa gambar wajah kumal kau
di kertasku.” Kenang menggerakkan tangannya kesana-kemari layaknya sedang
menggambar wajahku.
Aku berjalan keluar gang meninggalkan
mereka berdua, melambaikan tangan. Satu tanggan lagi menutup pelipis mataku.
Aku keluar. Dan mencari kelas tempat belajar. “Aku Awan, salam kenal”.
“Awan kumal jatuh di gang biru, burung
camar berlegar-legar. Karena kasih kita bertemu, moga persahabatan kita kian
bersinar”. Baba tertawa mendengar suara Kenang, dan diam saat Kenang
melihatnya.
Pulang dari sekolah aku pergi ke Bukit Jamur. Di
namakan Bukit Jamur karena lapisan tanah atas yang lebih kuat dari pada yang
bawahnya dan tanah yang di bawah terkikis angin dan hujan seiring berjalan
waktu sehingga menyerupai bentuk jamur.
Aku melihat dua orang membawa
kanvas, kayu dan kertas-kertas banyak saat berjalan menuju Bukit Jamur. Aku
berlari menuju orang itu ingin membantu. Aku terkejut bahwa mereka dua orang
yang di keroyok di sekolah alam Gunung Kapur tadi.
“Baabaa.. Bababbabababaa”. Baba girang
bertemuku, menarik-narik bahuku ke depan dan ke belakang di ulang-ulang.
“Pucuk di cinta ulam pun tiba. Hei
wajah kumal, tidak aku sangka kau yang datang membantu kami di saat seperti
ini. Terima kasih Tuhan. Ini kau bawa sampai Bukit Jamur, kita jualan bersama
saja disana.” Dengan polosnya Kenang
memberikan tumpukkan kanvas kepadaku.
Tanpa bicara aku berjalan ngangkang
menuju Bukit Jamur sanking berat dan lebarnya kanvas. Sedangkan Kenang dan Baba
begitu berisik mengungkapkan rasa senangnya bertemu denganku.
Kenang berjalan memutar-mutari
badannya ke arahku. “Dengar wajah kumal, kita itu sudah di takdirkan bertemu
atau mungkin tidak hanya bertemu tetapi juga bersahabat. Benar begitu kan baa ?
hehe”
“Baabaa.. Baabaaa..” Baba tersenyum
girang mengikuti tingkah Kenang berputar-putar.
Aku geram melihat tingkah aneh
mereka. Kenapa dua manusia aneh ini mulai ada di mana-mana.
“Heii kalian berisik sekali!!”
Aku sedikit meyesal menolongnya. Berjalan
mutar-mutar, Baba menabrak seseorang. Baba meminta maaf. Tetapi malah di ejek
dan olok di anggap cacat . Baba pun diam merunduk. Tidak puas mengolok Baba,
mereka memalak kami. Lantas ayunan tanganku memukul orang tersebut. Tidak
terima temannya aku pukul teman lainnya mengeroyokku juga Kenang dan Baba. Aku
melawan mereka tetapi pada akhirnya aku, Kenang dan Baba jatuh tersungkur.
Beruntung ada petugas membubarkan mereka.
Baba tetap tersenyum dan cerewet.
“Babaaa.. Bababaa..”
“Baba tidakkah kau bisa diam sedikit,
tidakkah kau merasakan sakit. Dan kau kumal, mereka itu masih temannya geng
Ebot, lihat saja kepalanya yang botak. ”. Kenang mengeluh menggelus perutnya .
Aku diam tidak bisa bicara, bibirku
terluka..
Kami pulang, tidak jadi jualan.
Diantar oleh beberapa petugas penjaga yang ada. Sepanjang jalan aku memikirkan
komutitas Ebot itu. Ingin membalas dendam.
Esoknya aku datang ke sekolah alam
Gunung Kapur. Bertemu dengan Kenang dan Baba kali ini merupakan
keberuntunganku. Aku berencana mengerjai beberapa geng Ebot. Kali ini kami akur.
Hari ini ada test tertulis. Aku akan
mengambil soal guru dan memasukkan soal yang aku ambil masukkan ke dalam tas
salah seorang dari geng Ebot. Baba cerewet akan hal ini. Ia melarangku untuk
melakukan hal itu. Beberapa kali Baba menarikku menjauhi dari tempat guru.
“Baba tenang saja, aku hanya ingin
mengerjai mereka saja, hanya ingin mereka di hukum sedikit, tidak lebih, jadi
tenang saja.”
“Baba.. Babababa.. bababa..” Baba menarikku
lagi menjauh. Ia merasakan hal yang buruk terjadi.
“Sudah lah tenang saja”. Aku
melepaskan tangan Baba dan meyakinkan.
Kenang hanya diam, tidak tau berbuat
apa ataupun harus berpihak kepada siapa.
Berhubung ruang guru sepi terus, dan
tenaga kerjanya yang sedikit, mudah saja bagiku memasuki ruang guru. Aku melihat
tumpukan kertas di atas meja yang di bungkus coklat. Perlahan tapi pasti, Aku
mengambil dan memasukkan ke dalam tasku. Seketika ada Salah temanku masuk
keruang guru.
“Lah ? Ngapain kamu wan di ruang
guru ?“. Tanya polos Salah.
“Emm itu.. Nyari Bu guru Kusina tapi
gak ada.” Spontan aku menjawab apa adanya. “Lah kamu ngapain juga disini ?”
“Aku juga nyari Bu Kusina, mau konsul
sih, kalo gak ada yaudah aku balik ke kelas aja”. Salah memutar balik ke arah
kelas.
Panik di tanya Salah, aku pergi ke kelas sebelum ada yang mencurigai lagi.
Sampai di kelas, aku melihat salah
satu tas geng Ebot di kelasnya. Berhubung kelas ada beberapa orang, aku
bertingkah duduk di sebelahnya. Menjatuhkan pulpen kebawah. Dan memasukkan
kumpulan kertas soal ke tas salah seorang geng Ebot yang di bawah. Setelah
sukses memasukkan kertas soal ke dalam tasnya, aku berpura-pura ada yang
menelponnya dan keluar dari kelas.
Bell masuk. Bu Kusina meminta muridnya keluar
dari kelas tanpa alasan. Murid pun keluar menuruti perintah. Ada dua orang
satpam masuk memeriksa tas satu persatu. Satpam keluar menunjukkan tasnya
meminta siapa pemilik tasnya. Igma pemiliknya. Satpam mengeluarkan ada kertas
soal di dalamnya. Kaget anak-anak melihat itu semua. Igma pun di keluarkan dari
sekolah alam. Aku tidak menyangka akan terjadi sepahit ini. Aku hanya ingin
melihatnya di hukum bukan di keluarkan. Aku dan Baba saling berpandangan. Lalu
buang muka. Igma pasrah. Berbagai alasan di ucapnya tetap tidak merubah
keadaan.
Pulang sekolah aku, Kenang dan Baba
pergi ke Bukit Jamur. Duduk bersama tetapi masih diam belum ada yang memulai
pembicaraan.
“Maaf,aku tidak tahu kalau begini
jadinya”. Aku beranikan diri berbicara, dan merunduk diam.
“Baba.. Bababa.. Bababa.. Ba ??!!”.
Baba berusaha bicara kalau ia sudah mengingatkan sebelumnya.
“Di kau keterlaluan sekali awan
kumal, kasian Igma”. Kenang ikut membatu Baba
“Babababa..!! Baba.. Bababababa..!!”. Baba
berdiri menangis, turun dari Bukit Jamur.
Ketika turun ke bawah datang geng
Ebot . Eka selaku ketua komunitas EBOT, langsung saja menangkap Baba. Berusia
lebih tua darinya lima tahun 28 tahunan. Aku dan Kenang buru-buru turun.
“Awan, Salah udah ceritakan semuanya
ke kami jadi kamu harus bayar kesalahan kamu!!”. Kasar Eka bicara. “Tangkap
mereka!”.
Adu pukul terjadi. Kenang
tertangkap. Aku masih melawan. Aku terjatuh. Terpukul kalah jumlah. Geng Ebot
membawa kami ke pojok pantai. Eka memberikan pisau kepada Baba. Menyuruh bunuh
salah satu di antara temannya. Aku dan Kenang panik. kami tidak bisa bicara.
Mulutnya di sumpal daun dan di ikat tali di mulut.
Baba di janggut menyuruh jalan
memilih. Baba menangis. Dan berusaha bicara, namun tidak ada yang mengerti. Semakin
mundur langkahnya, janggutan semakin kencang. Satu kaki melangkah, satu tetes
air mata jatuh deras. Baba sudah di depan aku dan Salah. Aku dan Salah
menggerontak, namun percuma. Tangan dan pisau baba ayunkan menusuk dan
“Arkh..”. Darah membasahinya. Baba menangis deras, mengucapkan sesuatu. Kenang
merunduk menangis.
“ARKHH !!” Awan teriak kencang.
Jatuh menangis. Melihat pilihan baba yang memilih bunuh dirinya sendiri.
Lengahnya geng Ebot melihat kematian
Baba, aku menggerontak dan tubuhku bisa di gerakkan. Aku hilang kendali,
mengambil pisau yang ada di tubuh Baba dan menusuk ke tubuh Eka. Disaat tusukan
di tubuh Eka, Salah dan polisi datang menyadari akan sesuatu terjadi. Aku
tersangka membunuh Eka dan Baba karna ada bukti kongkrit dari pihak polisi yang
melihatnya. Polisi membawaku untuk di evakuasi. Kenang menangis memohon pak
polisi. Tetapi percuma. Aku tetap di tangkap. Kenang memberikan kertas kumal
yang terlipat di kantungnya.
Aku membuka ketas kumal itu
bergambar wajah kumalku dan muka polos Baba dan Kenang bergandengan, ada tulisan
kecil disana. “Baba Kenang Awan”. Aku tersenyum.
Polisi langsung membawaku paksa.