Selasa, 10 Februari 2015

Baba Kenang Awan

            Kira-kira sepuluh jam yang lalu nomor tak di kenal menghubungiku. Ibuku mengangkatnya sewaktu aku masih dengan polosnya memeluk guling. Hingga cipratan air membangunkanku. Menyuruhku sekolah di sekolah alam Gunung Kapur. Ibu menunjukkan di handphoneku ada pangilan nomor tak di kenal. Katanya itu Bu Kusina, bilang kalau aku di terima di sekolah alam itu.
            Mandi dan sarapan tujuanku. Sepertinya lebih tepatnya hanya cuci muka dan makan beberapa biskuit sisa semalam. Buru-buru aku lari ke sekolah alam Gunung Kapur.
            Sampai di sekolah alam Gunung Kapur, aku begitu menikmati sekolahnya. Sekolah dengan bangunan tua dan banyak coretan tulisan yang tertumpuk tulisan lain. Perlahan kakiku melangkah, memandangi lingkungan sekolah, ada suara yang membuatku penasaran sehingga aku menghampiri gang kecil ramai kerumunan.
            “Ada apa ?”.
            Suaraku memecahkan keributan. Terlihat ada dua orang tersungkur jatuh tidak berdaya. Orang kurus dengan tahi lalat dipipi itu memegangi pipinya entah kenapa dan orang yang gempal di sebelahnya hanya merundukkan kepalanya.
            “kenapa mereka berdua tersungkur seperti itu ?”
             “Situ siapa berani-beraninya lantang sok jagoan. Kita Ebot. Semua orang kenal kita, bahkan orang yang ada di sekolah alam Gunung Kapur ini.”. Orang berambut cepak mendekatiku. Berkisar umur 23tahunan. Seumuranku. Mengepalkan tangan di depan wajahku.
            Aku tepis tangan yang orang itu. Terjadilah perkelahian hebat. Aku memukul dengan lincah walaupun pada akhirnya pelipis mataku terpukul. Aku mengakhirinya dengan tendangan silang. Orang itu jatuh tersungkur. Lantas di bawa oleh teman-temannya pergi menjahiku. Aku mendekati ke dua orang yang terjatuh itu. Salah seorang darinya berbicara tidak jelas “bababa.. baba..”.
            “Apa yang kau katakan ? aku tidak mengerti, bicaralah dengan jelas!”.
            “Pucuk di cinta ulam pun tiba. Baba hanya berterima kasih kepada kau. Aku ini Kenang. Dia Baba. Baba mempunyai syndrome asperger. Hanya bisa bicara satu kata.
            Baba pun tersenyum dengan muka polosnya kepadaku. Sepertinya Baba senang memiliki teman baru. Aku tetap tidak peduli.
            “Lalu kenapa kamu bicaranya baku dan puitis banget”. Tiba-tiba Baba tertawa kecil. Dan diam ketika aku melihat kearahnya.
            “Sastra itu menyenangkan. Aku suka puisi. Aku suka pantun. Aku suka gambar. Aku bahkan bisa gambar wajah kumal kau di kertasku.” Kenang menggerakkan tangannya kesana-kemari layaknya sedang menggambar wajahku.  
            Aku berjalan keluar gang meninggalkan mereka berdua, melambaikan tangan. Satu tanggan lagi menutup pelipis mataku. Aku keluar. Dan mencari kelas tempat belajar. “Aku Awan, salam kenal”.
            “Awan kumal jatuh di gang biru, burung camar berlegar-legar. Karena kasih kita bertemu, moga persahabatan kita kian bersinar”. Baba tertawa mendengar suara Kenang, dan diam saat Kenang melihatnya.
            Pulang dari sekolah aku pergi ke Bukit Jamur. Di namakan Bukit Jamur karena lapisan tanah atas yang lebih kuat dari pada yang bawahnya dan tanah yang di bawah terkikis angin dan hujan seiring berjalan waktu sehingga menyerupai bentuk jamur.
            Aku melihat dua orang membawa kanvas, kayu dan kertas-kertas banyak saat berjalan menuju Bukit Jamur. Aku berlari menuju orang itu ingin membantu. Aku terkejut bahwa mereka dua orang yang di keroyok di sekolah alam Gunung Kapur tadi.
            “Baabaa.. Bababbabababaa”. Baba girang bertemuku, menarik-narik bahuku ke depan dan ke belakang di ulang-ulang.
            “Pucuk di cinta ulam pun tiba. Hei wajah kumal, tidak aku sangka kau yang datang membantu kami di saat seperti ini. Terima kasih Tuhan. Ini kau bawa sampai Bukit Jamur, kita jualan bersama saja disana.”  Dengan polosnya Kenang memberikan tumpukkan kanvas kepadaku.
            Tanpa bicara aku berjalan ngangkang menuju Bukit Jamur sanking berat dan lebarnya kanvas. Sedangkan Kenang dan Baba begitu berisik mengungkapkan rasa senangnya bertemu denganku.
            Kenang berjalan memutar-mutari badannya ke arahku. “Dengar wajah kumal, kita itu sudah di takdirkan bertemu atau mungkin tidak hanya bertemu tetapi juga bersahabat. Benar begitu kan baa ? hehe”
            “Baabaa.. Baabaaa..” Baba tersenyum girang mengikuti tingkah Kenang berputar-putar.
            Aku geram melihat tingkah aneh mereka. Kenapa dua manusia aneh ini mulai ada di mana-mana.
            “Heii kalian berisik sekali!!”
            Aku sedikit meyesal menolongnya. Berjalan mutar-mutar, Baba menabrak seseorang. Baba meminta maaf. Tetapi malah di ejek dan olok di anggap cacat . Baba pun diam merunduk. Tidak puas mengolok Baba, mereka memalak kami. Lantas ayunan tanganku memukul orang tersebut. Tidak terima temannya aku pukul teman lainnya mengeroyokku juga Kenang dan Baba. Aku melawan mereka tetapi pada akhirnya aku, Kenang dan Baba jatuh tersungkur. Beruntung ada petugas membubarkan mereka.
            Baba tetap tersenyum dan cerewet. “Babaaa.. Bababaa..”
            “Baba tidakkah kau bisa diam sedikit, tidakkah kau merasakan sakit. Dan kau kumal, mereka itu masih temannya geng Ebot, lihat saja kepalanya yang botak. ”. Kenang mengeluh menggelus perutnya .
            Aku diam tidak bisa bicara, bibirku terluka..
            Kami pulang, tidak jadi jualan. Diantar oleh beberapa petugas penjaga yang ada. Sepanjang jalan aku memikirkan komutitas Ebot itu. Ingin membalas dendam.
            Esoknya aku datang ke sekolah alam Gunung Kapur. Bertemu dengan Kenang dan Baba kali ini merupakan keberuntunganku. Aku berencana mengerjai beberapa geng Ebot. Kali ini kami akur.
            Hari ini ada test tertulis. Aku akan mengambil soal guru dan memasukkan soal yang aku ambil masukkan ke dalam tas salah seorang dari geng Ebot. Baba cerewet akan hal ini. Ia melarangku untuk melakukan hal itu. Beberapa kali Baba menarikku menjauhi dari tempat guru.
            “Baba tenang saja, aku hanya ingin mengerjai mereka saja, hanya ingin mereka di hukum sedikit, tidak lebih, jadi tenang saja.”
            “Baba.. Babababa.. bababa..” Baba menarikku lagi menjauh. Ia merasakan hal yang buruk terjadi.
            “Sudah lah tenang saja”. Aku melepaskan tangan Baba dan meyakinkan.
            Kenang hanya diam, tidak tau berbuat apa ataupun harus berpihak kepada siapa.
            Berhubung ruang guru sepi terus, dan tenaga kerjanya yang sedikit, mudah saja bagiku memasuki ruang guru. Aku melihat tumpukan kertas di atas meja yang di bungkus coklat. Perlahan tapi pasti, Aku mengambil dan memasukkan ke dalam tasku. Seketika ada Salah temanku masuk keruang guru.
            “Lah ? Ngapain kamu wan di ruang guru ?“. Tanya polos Salah.
            “Emm itu.. Nyari Bu guru Kusina tapi gak ada.” Spontan aku menjawab apa adanya. “Lah kamu ngapain juga disini ?”
            “Aku juga nyari Bu Kusina, mau konsul sih, kalo gak ada yaudah aku balik ke kelas aja”. Salah memutar balik ke arah kelas.
            Panik di tanya Salah, aku pergi  ke kelas sebelum ada yang mencurigai lagi.
            Sampai di kelas, aku melihat salah satu tas geng Ebot di kelasnya. Berhubung kelas ada beberapa orang, aku bertingkah duduk di sebelahnya. Menjatuhkan pulpen kebawah. Dan memasukkan kumpulan kertas soal ke tas salah seorang geng Ebot yang di bawah. Setelah sukses memasukkan kertas soal ke dalam tasnya, aku berpura-pura ada yang menelponnya dan keluar dari kelas.
             Bell masuk. Bu Kusina meminta muridnya keluar dari kelas tanpa alasan. Murid pun keluar menuruti perintah. Ada dua orang satpam masuk memeriksa tas satu persatu. Satpam keluar menunjukkan tasnya meminta siapa pemilik tasnya. Igma pemiliknya. Satpam mengeluarkan ada kertas soal di dalamnya. Kaget anak-anak melihat itu semua. Igma pun di keluarkan dari sekolah alam. Aku tidak menyangka akan terjadi sepahit ini. Aku hanya ingin melihatnya di hukum bukan di keluarkan. Aku dan Baba saling berpandangan. Lalu buang muka. Igma pasrah. Berbagai alasan di ucapnya tetap tidak merubah keadaan.
            Pulang sekolah aku, Kenang dan Baba pergi ke Bukit Jamur. Duduk bersama tetapi masih diam belum ada yang memulai pembicaraan.
            “Maaf,aku tidak tahu kalau begini jadinya”. Aku beranikan diri berbicara, dan merunduk diam.
            “Baba.. Bababa.. Bababa.. Ba ??!!”. Baba berusaha bicara kalau ia sudah mengingatkan sebelumnya.
            “Di kau keterlaluan sekali awan kumal, kasian Igma”. Kenang ikut membatu Baba
             “Babababa..!! Baba.. Bababababa..!!”. Baba berdiri menangis, turun dari Bukit Jamur.
            Ketika turun ke bawah datang geng Ebot . Eka selaku ketua komunitas EBOT, langsung saja menangkap Baba. Berusia lebih tua darinya lima tahun 28 tahunan. Aku dan Kenang buru-buru turun.
            “Awan, Salah udah ceritakan semuanya ke kami jadi kamu harus bayar kesalahan kamu!!”. Kasar Eka bicara. “Tangkap mereka!”.
            Adu pukul terjadi. Kenang tertangkap. Aku masih melawan. Aku terjatuh. Terpukul kalah jumlah. Geng Ebot membawa kami ke pojok pantai. Eka memberikan pisau kepada Baba. Menyuruh bunuh salah satu di antara temannya. Aku dan Kenang panik. kami tidak bisa bicara. Mulutnya di sumpal daun dan di ikat tali di mulut.
            Baba di janggut menyuruh jalan memilih. Baba menangis. Dan berusaha bicara, namun tidak ada yang mengerti. Semakin mundur langkahnya, janggutan semakin kencang. Satu kaki melangkah, satu tetes air mata jatuh deras. Baba sudah di depan aku dan Salah. Aku dan Salah menggerontak, namun percuma. Tangan dan pisau baba ayunkan menusuk dan “Arkh..”. Darah membasahinya. Baba menangis deras, mengucapkan sesuatu. Kenang merunduk menangis.
            “ARKHH !!” Awan teriak kencang. Jatuh menangis. Melihat pilihan baba yang memilih bunuh dirinya sendiri.
            Lengahnya geng Ebot melihat kematian Baba, aku menggerontak dan tubuhku bisa di gerakkan. Aku hilang kendali, mengambil pisau yang ada di tubuh Baba dan menusuk ke tubuh Eka. Disaat tusukan di tubuh Eka, Salah dan polisi datang menyadari akan sesuatu terjadi. Aku tersangka membunuh Eka dan Baba karna ada bukti kongkrit dari pihak polisi yang melihatnya. Polisi membawaku untuk di evakuasi. Kenang menangis memohon pak polisi. Tetapi percuma. Aku tetap di tangkap. Kenang memberikan kertas kumal yang terlipat di kantungnya.
            Aku membuka ketas kumal itu bergambar wajah kumalku dan muka polos Baba dan Kenang bergandengan, ada tulisan kecil disana. “Baba Kenang Awan”. Aku tersenyum.

            Polisi langsung membawaku paksa.